Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
20 Oktober 2024 adalah waktu yang ditunggu-tungu presiden terpilih Prabowo Subianto. Sejak memenangkan pilpres 14 Februari, ia harus menunggu dengan gelisah selama lebih dari delapan bulan untuk dilantik. Menunggu adalah pekerjaan paling menyiksa bagi siapa pun. Kini penantian Panjang, yang penuh ketidakpastian, akan mencapai finish kurang dari sebulan lagi.
Dus, Prabowo sudah lebih rileks sekarang. Persiapan untuk memulai pekerjaan baru sebagai presiden di negeri yang menyimpan banyak masalah ini pun nyaris beres.
Sebaliknya, 20 Oktober 2024 adalah waktu yang terlalu singkat bagi Moeljono. Bukankah ia ingin berkuasa selama mungkin? Terlebih, 20 Oktober adalah waktu yang mengerikan baginya, realitas politik baru yang akan melahirkan dia kembali sebagai “tukang andong”. Tentu menyakitkan bagi orang yang mabuk kekuasaan, tapi harus meninggalkannya ketika mimpi-mimpi besarnya membangun dinasti harus berakhir di gorong-gorong, tempat yang dia sukai sebagai sarana membangun citra pemimpin kerakyatan.
Yang lebih menggentarkan, yang membuat ia susah tidur belakangan ini, adalah kemungkinan ia harus mengalami pengadilan rakyat atas segunung keculasan yang dilakukan terhadap rakyat, bangsa, dan negara. Tidak ada presiden Indonesia manapun yang dengan sengaja mengobrak-abrik bangsa ini dengan cara yang sedemikian vulgarnya. Ini karena kapasitas pemikirannya sangat terbatas, sementara ambisinya menjadi fir’aun tak dapat dicegah. Melihat kejijikan yang terpancar dari wajah rakyat seluruh lapisan terhadao sosoknya, rasanya tidak masuk akal Moeljono dapat hidup normal pasca lengsernya, 20 Oktober 2024.
Malah ia juga akan menyeret seluruh keluarganya ke dalam aib tak termaafkan akibat durjana yang mereka lakukan secara berjamaah. Tidak masuk akal Prabowo yang menginginkan stabilitas pemerintahan akan melindungi keluarga “tukang andong”. Hilangnya Moeljono dan semua hal yang terkait dengannya merupakan kepentingan pemerintahan Prabowo. Pemerintahan yang efektif, yang terbebas dari aib dan beban yang ditinggalkan keluarga Moeljono, merupakan political necessity. Hal itu mulai terlihat dari sikap Prabowo dalam merespons dinamika politikyang berkembang belakangan ini.