Wednesday, 4 December 2024

DINAMIKA BARU TIMUR TENGAH

-

Smith Alhadar/Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies

​​Krisis Timur Tengah memasuki fase baru. Saat genosida Israel di Gaza kian intens dan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat meluas, pada 19 Juli, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan pendudukan Israel atas Yerusalem Timur dan Tepi Barat sebagai tindakan ilegal dan harus dihentikan segera. Israel mengecam keputusan itu. Juga Presiden AS Joe Biden. Sehari sebelumnya mayoritas anggota parlemen Israel (Knesset), dalam pemungutan suara tentang Palestina – menolak two state solution (Israel dan negara Palestina hidup berdampingan secara damai).

Kendati demikian, Kongres AS menyambut gegap gempita pidato PM Israel Benjamin Netanyahu yang berapi-api, tapi penuh kebohongan tentang kejahatan perang, dehuminisasi, dan genosida terhadap warga Palestina. Tujuan Kongres, yang diboikot setengah dari anggota Partai Demokrat, ialah mengeluarkan Israel dari isolasi internasional dan menegaskan dukungan ironclad (sangat kokoh) AS terhadap sekutunya itu, yang kian ditinggalkan sekutu-sekutunya. Tak hanya Biden, bakal calon presiden dari Demokrat, Kamala Harris,  dan capres dari Partai Republik, Donald Trump, juga berebut bertemu Netanyahu di tengah protes rakyat AS.

Tentu tujuan Harris dan Trump adalah merebut suara simpatisan Israel dan lobi Yahudi menejelang pemilu November. Dalam pertemuan, Biden meminta Netanyahu menerima proposal gencatan senjata yang diajukan 31 Mei silam. Sedangkan Harris, kendati akan meneruskan kebijakan pro-Israel Biden dalam perang Gaza, ia menarik jarak dari Biden dengan menyatakan kepada Netanyahu bahwa dia tak akan diam menyaksikan tragedi kemanusiaan di Palestina. Tujuan Harris jelas: ia ingin menghibur kaum milenial, kulit hitam, Arab, dan Demokrat progresif yang menuntut AS mengubah kebijakan perangnya yang telah menewaskan hampir 40 ribu warga sipil Palestina, mayoritas Wanita dan anak-anak.  

Perkembangan lain, Hamas dan Fatah – bersama 12 faksi Palestina lainnya – sepakat membentuk pemerintahan persatuan nasional dalam perundingan tiga hari di Beijing ((21-23 Juli). Hamas, yang sejak 2007 memerintah Gaza, menolak eksistensi Israel.Fatah pimpinan Mahmoud Abbas yang berbasis di Tepi Barat mengakui eksistensi Israel, tapi dimusuhi partai-partai kanan Israel. Sejak awal Netanyahu memang menolak menolak Kesepakatan Oslo 1993 yang diarsiteki Abbas. Kesepakatan itu memproyeksikan Palestina memiliki negara merdeka pada 1998 dengan wilayah Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya sesuai resolusi-resolusi DK PBB.

Di kancah perang Timteng, untuk pertama kalinya sejak keterlibatannya dalam perang Hamas-Israel, Ansarullah – dikenal sebagai milisi Houthi di Yaman – meluncurkan rudal ke Tel Aviv tanpa bisa dihadang sistem pertahanan udara Israel. Ledakan rudal itu menewaskan satu orang dan melukai delapan lainnya. Israel membalas dengan menyerang instalasi minyak dan listrik di Hodaedah, kota pelabuhan di Yaman. Tit-for-tat (gigi dibalas gigi) Israel-Houthi ini akan meningkatkan eskalasi krisis Timteng saat Hezbollah di Lebanon ogah menghentikan serangan ke Israel. Bahkan perang terbatas Hezbollah-Israel sedang bereskalasi – berpotensi menuju perang skala penuh menyusul serangan ke Dataran Tinggi Golan pada 27 Juli lalu yang menewaskan 11 warga Druz. Kendati dibantah, Israel ngotot serangan mematikan itu dilancarkan Hezbollah.  

Keputusan ICJ

Palestina dan komunitas global menyambut keputusan ICJ. Pemerintah RI menyatakan, keputusan itu merupakan aspirasi Indonesia dan komunitas internasional dalam memberi keadilan bagi Palestina. Lebih jauh, Jakarta menyerukan Majelis Umum PBB dan DK PBB memenuhi permintaan ICJ  untuk mengakhiri kehadiran ilegal Israel di Palestina. Sejak menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza dalam perang 1967 – pada 2005 Israel meninggalkan Gaza, tapi memblokade enklave itu sejak 2008 – Israel terus membangun pemukiman Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat.

Padahal, sesuai Konvensi Geneva, kekuatan pendudukan tidak boleh menganeksasi wilayah yang dicaplok dan dilarang mentransfer warganya ke wilayah yang diduduki. Israel leluasa melakukan itu selama 57 tahun karena “diberi” impunitas oleh AS dan sekutu Barat. Pembangunan pemukiman Yahudi  diikuti represi, perampasan tanah, demolisasi rumah-rumah, dan pembunuhan terhadap warga Palestina.Karena itu, ICJ menyamakan perlakukan Israel atas Palestina dengan kebijakan apartheid. Keputusan ICJ ini merupakan permintaan Majelis Umum PBB pada 2022.

Sebelumnya, pada Januari lalu, atas aduan Afrika Selatan, ICJ juga meminta Israel segera menghentikan genosida di Gaza. Keputusan ICJ memang tidak mengikat, tapi keabsahannya diakui dunia internasional. Kendati  mengecamnya, Israel dan AS tidak dapat mengabaikannya. AS yang selalu menekankan tatanan berdasarkan hukum, malah mengecam keputusan itu meskipun mengakui pemukiman Yahudi di daerah pendudukan tidak konsisten dengan hukum internasional. Washington memang sejak dulu menyatakan mendukung two state solution, tapi tidak menekan Israel untuk itu dan malah melindungi sekutunya  dari tekanan internasional.

Dalam perang Gaza, AS terus menyuplai senjata, dana, dan payung diplomatik atas Israel. Bagi AS, solusi dua negara harus diselesaikan di meja perundingan langsung antara Israel dan Palestina (Fatah) yang diakui dunia internasional sebagai wakil sah bangsa Palestina. Masalahnya, Israel tak menghendakinya. Malah, sejak proses perdamaian terhenti total pada 2014, Israel terus mendelegitimasi Otoritas Palestina yang didominasi Fatah, yang dihasilkan oleh Kesepakatan Oslo. AS mengecam ICJ karena keputusannya meningkatkan bargaining position Palestina.

Rekonsiliasi Fatah-Hamas

Kendati keputusan ICJ mengungkit politik (political leverage) Palelestina, perpecahan internal bangsa Palestina melemahkan posisi tawarnya menghadapi Israel. Dalam konteks inilah Hamas dan Fatah berdamai. Ini berita menggembirakan karenatidak mudah mendamaikan kedua entitas Palestina ini karena perbedaan pandangan yang fundamental terhadap Israel dan kaitannya dengan politik global. Fatah memiliki legitimasi internasional, namun kehilangan legitimasi Palestina karena proses perdamaian macet, pemukiman ilegal Yahudi terus berlangsung, dan Israel mendelegitimasinya. Fatah terpaksa berdamain dengan Hamas karena keduanya menolak skenario Gaza pasca perang di mana Israel menghendaki entitas baru Palestina — non-Hamas dan non-Fatah — memerintah Gaza dan Tepi Barat.  

Sebaliknya, Hamas tak diakui dunia internasional. Bahkan, Israel, AS, dan Uni Eropa menganggapnya sebagai teroris. Namun, Hamas memiliki legitimasi yang kuat di kalangan masyarakat Palestina secara keseluruhan. Dalam pemilu Palestina pada 2006, Hamas memenangkannya. Kini, menyusul kejahatan perang Isael, populeritas Hamas justru meningkat pesat. Dengan kenyataan politik ini, mustahil Fatahdapat berunding dengan Israel – kalaupun Israel bersedia berunding – untuk mewujudkan two state solution tanpa dukungan Hamas.  

Di pihak lain, tidak mungkin Israel bersedia berunding dengan Hamas yang hendak menghancurkan eksistensinya. Hamas pun tidak mungkin berunding dengan Israel – kalaupun Hamas bersedia berunding – tanpa Israel mengakui eksistensinya. Hamas dan Fatah berunding di Beijing karena Tiongkok mengakui dua entitas ini. Tiongkok menganggap Hamas bukan teroris, melainkan pejuang kemerdekaan yang sesuai dengan semangat Piagam PBB. Terlebih, Hamas telah memberi konsesi kepada Fatah berupa pengakuannya atas keabsahan Kesepakatan Oslo yang ditandatangani di Gedung Putih.

Palestina Pasca Perang

Situasi di atas menyulitkan penyelesaian Gaza pasca perang. Israel berharap negara-negara Arab mengirim pasukan ke Gaza untuk menyokong pemerintahan baru di sana. UEA, Bahrain, Arab Saudi, Yordania, dan Mesir bersedia memenuhi keinginan ini dengan syarat ada rencana yang masuk akal bagi perwujudan negara Palestina. AS pun mendukung posisi Arab. Tetapi, lagi-lagi, Israel menolak two state solution. Ketika Netanyahu berada di AS, Gedung Putih menyatakan perundingan  Hamas-Israel untukgencatatan permanen mengalami progres signifikan.

Kendati demikian, Israel tetap membombardir Gaza. Di Tepi Barat, operasi militer Israel juga makin gencar. Tujuannnya, cita-cita Palestina memiliki negara tidak lagi relevan ketika tak ada lagi teritori yang tersisa bagi Palestina. Tetapi, menyusul keputusan ICJ, harapan Israel menghilangkan bangsa Palestina kandas. Keputusan ICJ mewajibkan seluruh negara anggota PBB menaatinya.Israel harus kembali ke akal sehat bahwa two state solution tak bisa ditawar. Melanjutkan perang tanpa skema untuk mengakhirinya hanya akan membuat Israel menjadi negara paria. Sementara perang Gaza berpotensi merambah ke seluruh kawasan bila Israel mewujudkan ancamannya melancarkan perang skala penuh ke Lebanon. Alhasil, Zionisme – gerakan supremasi Yahudi yang rasis dandidukung tanpa reserve oleh AS merupakan sumber krisis Timteng yang telah berlangsung 76 tahun.

Tangsel, 28 Juli 2024