Smith Alhadar : Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Sepanjang Fufufafa bertengger di istana, ia akan selamanya menjadi simbol dekadensi moral dan intelektual bangsa. Ia adalah penghinaan sempurna terhadap Bung Hatta, Habibie, Jusuf Kalla, Ma’ruf Amin, dan para wapres lainnya. Bagaimana mungkin anak kerdil, koruptif, dan menyedihkan ini bisa menjadi tokoh nomor dua pada bangsa pejuang ini? Bangsa pejuang yang didirikan oleh para intelektual, yang semuanya hidup dan meninggal dalam kemiskinan?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan sangat panjang yang melibatkan banyak disiplin ilmu, termasuk psikologi untuk menjelaskan kejiwaan Fufufafa dan ayahnya. Tapi salah satu jawaban yang mudah adalah kebobrokan karakter para pemimpin parpol.
Semuanya pragmatis, oportunis, koruptif, dan tidak bertanggung jawab. Aspek lain adalah masih bercokol dengan kuatnya feodalisme: susunan masyarakat yang dikuasai kaum “bangsawan”, yaitu penguasa dari pusat hingga daerah. Dengan kata lain, kebudayaan bangsa adalah sumber masalah.
Ini dimanfaatkan pemimpin bermental kerdil dan rakus seperti Moeljono. Ia mengikuti jalan Soeharto, tapi dengan cara yang lebih vulgar. Soeharto memanfaatkan orang-orang pintar untuk membangun kesejahteraan rakyat sebagai sumber legitimasinya. Moeljono memanfaatkan orang-orang bermasalah dan rakyat yang dibodohi sebagai sumber kekuatannya untuk meraih mimpi besarnya: dinasti.
Sekiranya ia memahami sedikit saja Indonesia masa kini, Indonesia yang telah terintegrasi kedalam rezim global yang melahirkan generasi kosmopolit – generasi yang telah terpapar nilai-nilai universal — dan mengapresiasi nilai-nilai luhur yang diwariskan para founding fathers, mustahil ia, dengan kapasitas intelektual yang sangat terbatas, akan menjungkirbalikkan tatanan negara untuk tujuan yang immoral dan irrasional.