Wacana sang presiden ini menyeruak dan menjadi konten diskusi hangat di beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti malam itu juga, bahkan hingga siangnya. Ini menjadi tema diskusi yang menarik, juga setidaknya karena kita baru saja melewati pemilihan kepala daerah langsung pada 27 November lalu, yang hingga kini masih menyisakan ratusan permohonan sengketa atas hasilnya di Mahkamah Konstitusi [MK] yang akan disidangkan mulai Januari tahun depan.
Beberapa petingga partai politik sejauh ini, juga memberi apresiasi positif wacana yang disodorkan presiden Prabowo di acara Partai Golkar itu, setidaknya diwakili partai kebangkitan bangsa [PKB] dan Nasdem.
Update rekapitulasi permohonan perkara sengketa atas hasil Pilkada ini, seperti terbaca di akun twitter Mahkamah Konstitusi per tanggal 13 Desember 2024 pukul 20.30 WIB, Perkara Gubernur 16, Perkara Bupati 218 dan Perkara Wali kota 48.
Diskusi di beberapa WAG tadi menyerempet hingga ke banyak hal. Seorang karib berkomentar rada idealis, pejuang-pejuang demokrasi mulai meragukan idealnya demokrasi sebagai sistem bernegara. Yang lainnya menyodorkan referensi bahwa Partai Komonis Indonesia [PKI] dulu, malah menempatkan partai sebagai alat pendidikan bagi wong cilik. Tentu kawan ini sedang menyoal idealnya fungsi sebuah partai politik. Tak salah.
Yang lainnya hingga mengungkap studi-studi terbaru soal partai politik di Indonesia pasca Orde Baru yang menempatkan hampir semua partai di Indonesia saat ini berada dalam 3 [tiga] masalah besar : Oligarki, Sentralistik dan Personalisasi.
Ketika ada teman yang berkomentar bahwa memilih kepala daerah melalui sistem perwakilan di DPRD sama saja kita kembali lagi ke masa Orde Baru, saya menanggapinya dengan guyon bahwa tujuan negara ini didirikan, yang paling pokok, yang terbaca dalam pembukaan UUD 1945 itu, salah satunya memajukan kesejahteraan umum. Ada pesan “isi perut”, uang atau ekonomi. Tetapi juga, mengisi perut, mendapatkan uang dan urusan ekonomi warga misalnya, tidak bisa dengan uang hasil suap untuk mengakses keterpilihan di Pilkada. Itu cara yang merusak dan merendahkan martabat bangsa. Jikapun, prilaku politik uang itu harus bergeser ke DPRD misalnya, setidaknya keburukan itu bisa di lokalisir efek buruknya. Toh mereka rata-rata orang dewasa dan jumlahnya tak banyak. Jangan merusak karakter generasi emas kita.
Hingga di sini, bisa diperdebatkan esensi pesan “kebutuhan” demokrasi dan ekonomi menurut teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Mirip mempersoalkan mana yang lebih dulu, ayam atau telur.