Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan kembali “nalar kita,”terutama sebagai seorang birokrat. Sebagai pejabat seharusnya Ia menyadari dan tentu tahu bahwa sikap, gerak-gerik dan ucapannya tak akan lepas dari sorotan “ribuan pasang mata dan telinga” yang akan mengawasinya. Apalagidi momentum politik saat ini.
Netralitas ASN dalam Regulasi
Setidaknya ada 3 alasan Aparatur Sipil Negara (ASN) harus netral. Pertama, agar pemilihan (pemilukada) tidak dipandang sedang dipengaruhi kelompok tertentu. Kedua, agar fasilitas Negara tidak hanya dipakai untuk kepentingan kelompok tertentu. Ketiga, menjaga agar layanan publik tetap terselenggara dengan baik tanpa harus membeda-bedakan golongan dalam masyarakat.
Hasil penulusuran yang saya temukan di data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) per 2 April 2024, memperlihatkan sejumlah 481 ASN yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas, dan 264 (54,9 %) di antaranya terbukti melanggar. Sebagai pembanding, Pilkada Serentak2020, tercatat ada 2.034 ASN yang dilaporkan melanggar netralitas, dan 1.597 ASN (78,5 %) di antaranya terbukti melakukan pelanggaran.
Lantas, mengapa kasus terkait netralitas ASN dalam pemilu ataupun pilkada tersebut tak pernah surut?.
Padahal para ASN tersebut semestinya menjadi bagian dari upaya untuk membangun korps yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih, serta mampu menyelengg-arakan pelayanan publik dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam UU tentang ASN diatur jelas mengenai kewajibanASN, antara lain ; menjaga netralitas – sebagaimana termuatpada UU 20/2023 pasal 21 ayat (1) huruf d. Netralitasdimaknai sebagai setiap pegawai ASN tidak berpihak darisegala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.