Sunday, 24 November 2024

MOELJONO!

-

Oleh : Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

​Anjing-anjing melolong sepanjang malam, saat gerimis turun di musim kemarau. Menghadirkan kepiluan di malam yang sunyi. Di sebuah pojok remang-remang, lahir seorang bayi laki-laki sambil tertawa-tawa. Aneh! Orangtuanya gelisah: bagaimana memahami anomali ini? Bayi itu sengaja diberi nama Moeljono biar  jujur dan tak macam-macam kelak.

Nama membawa pesan sosio-kultural. Dalam konteks ini, Moeljono merujuk pada nama orang Jawa yang “terbuang”, yang ditakdirkan untuk tidak punya cita-cita. Maka, ketika ia bercita-cita – cita-cita besar – mestinya diwaspadai. Pikiran cetek yang punya mimpi besar, yang bukan haknya, pasti koruptif untuk tiap tindakannya. Ini yang ditakuti orangtuanya.

Bayangkan, Moeljono ingin memimpin bangsa besar yang kompleks, yang tidak ia fahami. Tapi ia tahu keberuntungannya terletak pada momentum sejarah dan tipu muslihat yang, aduhai, diglorifikasioleh para cerdik pandai, munafikun, penjilat, dan oportunis sebagai new normal. Akal budi dan good willkebangsaan para founding fathers disapu ke bawah karpet. Apa salahnya bangsa ini sehingga senantiasa dikalahkan oleh ketololan anak-anaknya sendiri? 

Mereka menabuh  gendang rusak buatan Moeljono untuk membuat rakyat seantero negeri ikut menari merayakan kehadirannya, yang tidak ada seorang pun tahu siapa dia sebenarnya. Tidak ada yang berminat memeriksa dia: kejiwaannya seperti apa? Mereka bilang, tidak mungkin wajah lugu bisa punya gelora kerakusan yang menerjang ke mana-mana. No, it’s impossible! Pemimpin-pemimpin  sebelumnya yang pandai dan kuat pun tidak melakukannya. Dus, tidak ada presedennya. Dan, bukankah para Nabi juga datang dari rakyat kebanyakan?

Mereka lupa teori psikologi bahwa orang yang menderita di masa lalu – sebagaimana Moeljono yang dibesarkan di pinggir kali – akan mencari kompensasi dengan menghalakan segala cara untuk menyembuhkan luka batinnya. Mungkin namanya sociopath: seseorang yang lakunya terhadap orang lain dianggap tidak dapat diterima, asing, dan boleh jadi berbahaya.