Moeljono tak menyukai buku serius – komik Doraemon dan Shinchan sudah cukup menjadi sumber pengetahuannya untuk hidup yang rumit ini — tapi ia gemar menonton wayang dan suka sekali pada karakter Ken Arok, anak liar terbuang yang bisa mendirikan Kerajaan Singosari melalui jalan kejahatan. Kalau Ken Arok bisa, aku mestinya lebih bisa. Setidaknya aku baca komik, Ken Arok buta huruf.
Tentu saja Moeljono tak memperhitungkan jarak waktu bahwa dia dan Ken Arok terpaut tujuh abad yang, sesuai hukum besi sejarah, menghadirkan corak dan setting sosial serta tantangan politik yang jauh berbeda. Tapi mengapa kita harus heran bila Moeljono hendak mengulang sejarah yang ditorehkan Ken Arokyang cerdas? Bukankah Moeljono tak bisa membedakan khayalan dan realitas?
Maka kita menyaksikan bagaimana Moeljono mempreteli konstitusi, mempolitisasi hukum, mengintimidasi parpol, menjadi dirigen paduan suara parlemen, memobilisasi lembaga-lembaga strategisnegara untuk kepentingan pribadi, mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh ikut pemilu, siapa yang boleh dan tidak boleh memimpin parpol.
Bukan cuma itu. Ia mencurangi pilpres, melemahkan lembaga antikorupsi, memproduksi kebijakan yang berpihak pada oligarki, menumpuk utang melebihi yang seharusnya, berupaya membegal parpol-parpol, memaksa diri membangun ibu kota baruyang tidak masuk akal. Dan, yang paling memalukan,ia berambisi membangun dinasti melalui KKN. Sampai-sampai seekor kera tua memperbaiki duduknya sambil menjerit, “Shame on you, Moeljono!
Dengan semua ini Moeljono membuka kedoknya, seperti seseorang yang menari telanjang di dalam stadion yang ditonton rakyat seluruh negeri. Sebagian bersorak, sebagian terkejut, yang lain diam, dan sisanya meninggalkan stadion diam-diam membawa perasaan malu. Ya Allah, apa yang terjadi dengan negeri ini? Yang rakyatnya berdoa siang-malam demi kejayaan, kemakmuran, dan keadaban bangsa ini? Mengapa justru aib dan kesengsaraan yang Engkau disodorkan kepada kami?
Allah menjawabnya. Sekonyong-konyong akal sehat dan nyali juang rakyat –yang mati suri selama sepuluh tahun terakhir — bergelora kembali. Berhasil mereka hancurkan skenario terakhir Moeljono yang membangkang terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi demi kekuasaan putra bungsunya. Pada akhirnya kecerbohon Moeljono berbasis kerakusan dan ketololan ini berdampak luas. Semua skenario yang dibangun Moeljono untuk dinasti kuno di zaman digital runtuh seketika, bak istana pasir yang dihantam gelombang samudera.