Smith Alhadar/Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Tak tanggung-tanggung, di tengah panasnya perang Hamas-Israel, pemerintahan ekstrem kanan Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu membunuh Fuad Shukr, Komandan Senior Hezbollah, dan Ismail Haniyeh, Ketua Biro Politik Hamas. Kedua insiden terjadi di ibu kota Lebanon, Beirut, dan ibu kota Iran, Teheran, dalam waktu yang hampir bersamaan. Shukr di bunuh pada 30 Juli, sedangkan Haniyeh pada 31 Juli dinihari. Keduanya tokoh penting terkait dengan perang Hamas-Israel yang telah mengisolasi Israel.Bahkan, dukungan publik Israel terhadap Netanyahu merosot tajam lantaran keengganannya menyetujui gencatan senjata sebagai imbalan Hamas membebaskan sisa sandera Yahudi di Gaza.
Maka kekhawatiran akan kemungkinan Timur Tengah terjerumus kedalam perang besar menjalar ke seluruh dunia. Terutama setelah pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei menyatakan akan menjatuhkan hukuman keras terhadap Israel. Pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrullah, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. Kendati kemungkinan serangan balasan Iran dan Hezbollah bersifat terbatas untuk menghindari perang meluas ke seluruh kawasan, kecil kemungkinan Israel akan mendiamkannya. Toh, dalam serangan Iran ke teritori Israel pada 13 April untuk membalas serangan Israel ke Konsulatnya di Damaskus yang membunuh dua jenderal dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, Israel tetap melancarkan serangan balik ke Iran meskipun sudah dicegah AS.
Untuk mendeeskalasi situasi, DK PBB mengecam pembunuhan Shukr dan Haniyeh. Tetapi tiga pemegang hak veto DK PBB, yakni AS, Inggris, dan Perancis,mengecam Iran sebagai destabilisator Timteng melalui proksi-proksi di berbagai negara Arab – yang disebut sebagai “poros perlawanan” – yang terlibat perang dengan Israel sejak infitrasi Hamas ke Israel pada 7 Oktober. Rusia dan China, dua pemegang hak veto DK PBB lainnya, menyalahkan Israel. Rusia menyatakan pembunuhan Haniyeh sebagai pembunuhan politik. Sementara China menuduh AS sebagai sumber krisis Timteng karena bantuan senjata, dana, dan proteksi politik yang diberikan kepada Israel. Di luar itu, AS, Perancis, PBB, dan negara-negara Arab terus berkoordinasi untuk mencegah perang meluas.