Anwar Husen
Kolomnis/ Tinggal di Tidore.
“Cari pemimpin itu harus korelatif dengan apa kebutuhan warganya. Kalau warga lapar maka cari pemimpin yang tahu “cari makan” bagi warganya. Karena hanya makanan itu yang jadi media mengatasi kelaparan selain minum pil tahan lapar“.
Ini petikan komentar kocak saya disebuah WAG karena lagi ramai diskusi menyahuti kegiatan Debat Kandidat Calon Gubernur dan Wakil gubernur yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum [KPU] Provinsi Maluku Utara oleh Kompas TV di Gedung DPRD Provinsi Maluku Utara.
Latar logika begini, dipicu oleh banyak pesan di media sosial, menyoal kriteria kepala daerah yang nantinya bisa menjadi panduan bagi calon pemilih. Biasalah, media sosial. Setiap orang punya ekspektasi terhadap Calon Kepala Daerah di berbagai level, menurut pengetahuan, pengalaman hingga subjektifitasnya karena alasan-alasan tertentu. Juga, karena di media sosial, setiap penggunanya adalah WTS, Wartawan Tanpa Surat Kabar, kata teman saya dulu.
Yang namanya pesan di media sosial, bisa macam-macam motivasinya. Ada yang terlihat proporsional dan objektif karena mungkin melihat variabel pemimpin adalah hal paling penting yang menentukan hajat hidup orang banyak hari ini hingga nasib anak-cucunya kelak. Ada yang terkesan menjual kandidatnya meski dengan alasan yang terkesan masih di cari-cari, hingga ada yang mungkin menganggapnya hal sepele, sekedar “main-main”.
Saya begitu terkesan dengan narasi di sebuah vidio pendek di sebuah WAG yang bekisah tentang Ethiopia, sebuah negara dibelahan Afrika hari-hari ini. Negara yang sempat jadi buah bibir dan objek kesedihan seantero jagat empat dekade lalu itu, kini bermetamerfosis menjadi sebuah negara moderen dengan indeks kehidupan warganya yang mengesankan. Ethiopia di dekada 80-an adalah salah satu potret pendegradasian harkat dan martabat kemanusiaan paling buruk yang pernah ada. Menonton televisi di masa sekolah saya dan mungkin yang seusia dulu, adalah masa-masa dimana bencana kelaparan karena kekeringan di Ethiopia yang bikin 1.2 juta penduduknya meninggal hingga ratusan ribu yang memilih eksodus, menjadi media mengasah kepekaan insaniah, kepedulian sosial dan empatik yang sangat hebat. Penyanyi tenar Iwan Fals di tahun 1983, hingga menuangkan fakta itu menjadi bait-bait lagu yang miris dan memilukan.