Friday, 22 November 2024

BASRI SALAMA DAN (KOSMOLOGI) ‘LELUHUR’

-

Mengapa Ngofa Maguraci?
Karena Ngofa/biji maguraci, seperti telah disebutkan sebagai bibit (putra) terbaik, yang memiliki kesalehan sosial (saha se suba), berjiwa kesatria (pita se peta) dan berbudi luhur (loa se banari). Konsep ini dipahami sebagai pengatahuan yang tersimpan dalam “memori” kolektif masyarakat.​

Pertama, Jiwa “saha se suba“. Inilah jiwa belas kasih, menempatkan rakyat/orang lain di atas dirinya sendiri. Dalam keyakinan papa se tete, figur ini memiliki telinga yang lebih jelas mendengar, mata yang lebih tajam melihat, hidung yang lebih kuat mencium, lidah yang lebih santun berbicara serta kulit yang lebih kuat merasa.Inilah prinsip yang tidak egoistik dan indvidualistik. Istilah leluhur kita, tidak mengidap sifat “Nyinga ma tamoi” yakni hanya memikirkan diri sendiri.

Sosok Basri Salama, dikenal memiliki jiwa empati dan belas kasih terhadap orang yang membutuhkan uluran tangan. Ia memiliki prinsip “satu kebaikan akan melahirkan kebaikan lainnya”. Rentetan cerita media tentang kisah – kisah (aksi) sosial kemanusainnya begitu menyentuh.

Bukan jadi rahasia lagi, Basri Salama telah membantu pengobatan rakyat jelata, salah satunya Salahudin yang mengidap kanker ganas di mata kirinya. Salahudin tutup usia di RSUP. Basri pula yang membantu memulangkan jenazah balita itu ke Ternate untuk dimakamkan. Meskipun 9 tahun telah berlalu, namun Basri tetap dianggap DEWA penolong oleh Adimun dan keluarganya. (Porostimur,13/10-20240).

Kisah jiwa saha se suba ini berlanjut, dengan kelembutan hati membantu Rifky Alfian Muhammad (penderita katup jantung bocor). Muhammad Abubakar, sang ayah telah susah payah meminta bantuan sana-sini. Kala itu di 2017, Basri Salama-lah yang membantunya. Semua kebutuhan pengobatan Rifky dan biaya hidup di Ibukota ditanggung Basri dan sang istri (Ana Harsany). Saat ini, Rifky telah beranjak remaja yang sehat dan duduk di bangku kelas SMA (Porostimur,13/10-2024)

Tidak berakhir disitu, seorang ibu bernama Wati, (asal Desa Daeo, Morotai) memberikan kesaksian serupa. Sahdat Bungan (almarhum) suaminya, seorang pasien kanker mulut. Basri meminta Sahdat dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Sahdat dan keluarganya diminta menginap di rumah Basri, ditanggung seluruh kebutuhannya. Bahkan disediakan dokter untuk mendampingi Sahdat dan keluarga kembali ke Morotai. Namun Tuhan memutuskan perjuangan Sahdat terhenti. Ia tutup usia di kampung halamannya di tengah-tengah keluarganya.

“Setelah paitua meninggal, Abang Bas tetap komunikasi. Jaga tanya anak-anak pe keadaan, sering jaga transfer anak-anak pe doi. Terimakasih Abang Bas dan Ci ana (Istri Bas,red) juga, atas segala bantuannya”. Tutur Wati mengenang dengan air mata tergenang di pelupuk mata. (Tandaseru,13/9-2024).