Jiwa ‘saha se suba ini’ muncul dari kondisi masa kecil Basri Salama yang pahit. Dari 12 bersaudara, hanya 4 yang tersisa. Saudaranya meninggal karena minim pertolongan saat sakit, kondisi orang tuanya yang kekurangan, jadi penyebab tidak punya biaya berobat. Jadi jiwa saha se suba adalah bagian yang ‘built in’ (menyatu} dengan dirinya.
jiwa saha se suba mengantarkan pemiliknya pada kebijaksanaan yang sebenar-benarnya bijak, hingga pemiliknya mencapai puncak penghormatan dan kewibawaan sosial yang tidak dibuat-buat dengan agenda pencitaraan politik apapun. Karena seperti kata Basri kebaikan-kebaikan itu bukan untuk dihitung, bukan pula untuk ditimbang.
Sederhananya, pemilik jiwa saha se suba adalah orang yang respect terhadap orang lain dan direspect oleh orang lain. Dalam sindiran “papa se tete” untuk para pemimpin yang tidak memiliki jiwa saha se suba terangkai dalam satu dalil yang berbunyi; “ngau dafolo mabunga, lao gai ma jobi, ngun moda ma dagilom, aki ma benga yo bole, ahi gate mafu gogo maringa, mansia ua se haiwan.
Kedua, jiwa pita se peta. Prinsip dasar ini adalah, jiwa seorang kesatria. Basri Salama seperti yang diulas oleh (pikiran ummat.com 25/5-2024) adalah sosok Putra Tidore yang KESATRIA. Rakyat Maluku Utara tak akan pernah lupa, akan peran ‘ngofa ma guraci’ tidore ini. Terutama dalam gerakan reformasi memperjuangkan peningkatan derajat status Maluku Utara dari kabupaten, kota Ternate dan dan kota adminstratif Tidore naik status menjadi sebuah provinsi.
Militansi dalam pergerakan, dan kemampuan orasi di tengah lautan masa aksi reformasi, menuntut pemekaran provinsi membuatnya terus (dikenang). Dan 21 tahun sudah perkembangan penuh ‘rona reformasi’ dan pemekaran malut itu telah dirasakan manfaatnya oleh 1 juta lebih rakyat Maluku Utara.
Beberapa sahabat pergerakan, baik senior maupun junior memberikan pengakuan itu. “Bang Basri” demikian kami menyapa beliau, “adalah sosok tokoh pergerakan Maluku Utara (medio 90) yang yang kritis dan militan, beliau patut menjadi inspirasi bagi generasi hijau-hitam khususnya, dan kaum pergerakan pada umumnya” (Pikiran ummat, 25/5-2024).
Jejak digital telah memperlihatkan, bagaimana ‘Lelaki Surumalao ini” ketika berada di forum-forum parlemen. Ia adalah salah satu senator muda yang tampil menyampaikan pandangannya yang lugas, tajam dan tempramental (jika dibutuhkan) untuk sebuah kebenaran.
Ia memegang prinsip orang, ‘salah no waje salah, banari no waje banari’ (salah katakan salah, benar katakan benar).Toma loa sebanari bermakna bahwa keberkatan,keselamatan,dan kehormatan akan dapat diraih jika dengan cara menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran dalam pemerintahan, pembangunan dan pelayanan pada Masyarakat..
Dalam sindirin “papa se tete” bagi para pemimpin yang tidak memiliki jiwa ini, terangkai dalam dalil “kala ua laha namo so ma pila ua, waje ega yo sasa kakalelo, gate halia mai to hoda ruru, mansia ua se coka ma dagilom”
Ketiga, Jiwa “loa se banari”. Inilah jiwa yang merupakan puncak dari ngofa laha-laha se ngofa manyinga simo dalam konsep ngofa maguraci. Tomaloa se banari harus terus mengalir dalam jiwa, tindakan dan perilaku dari generasi, dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadikan “Toma Loa Se Banari” artinya bertindak jujur, adil dan benar sebagai ideologi bersama membangun Maluku Utara.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran dan kemanusian dalam tindak laku perbuatan. Sikap perilaku dan perbuatan berlandaskan pada tradisi, budaya dan ajaran agama.(Tidore hebat 2020)
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masyarakat Moluku Kie Raha dapat mempraktikan tatakrama/azas hubungan sosial yang selama ini menjadi kekuatan para leluhur dalam membangun negeri.