Di periode 1984, Indonesia yang sempat swasembada beras, menyumbang 100 ribu ton gabah ke petani Ethiopia melalui FAO [lembaga pangan PBB] dan uang tunai senilai 25 ribu dollar AS pada tahun 1987.
Tetapi dalam dua dekade terakhir, “keajaiban” terjadi di negara yang beribukota di Addis Ababa itu. Seiring waktu, negara itu makin makmur hingga menjadi model pembangunan bangsa-bangsa Afrika. Menurut Bank Dunia, sejak tahun 2000 hingga 2018, Ethiopia adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, di antara negara-negara yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Infrastruktur ekonominya berkembang luar biasa. Kegembiraan dan senyum ceria, terpancar indah di raut para warganya.
Di vidio pendek lainnya, di sebuah negara totaliter yang potret penderitaan dan kualitas hidup warga negaranya yang memprihatinkan, justru diplintir oleh pemimpinnya yang hidup bergelimang kekayaan menjadi media mengukur kesetiaan dan semangat cinta bangsa dan tanah air bagi negaranya, sebuah potret penindasan manusia atas manusia yang masih abadi.
Kisah visual di potongan dua vidio pendek tadi, bisa jadi analog dari kutipan pembuka tulisan di atas.
Ada Calon Kepala Daerah yang tahu cara “cari makan”, sebuah metafora harapan, obsesi hingga mimpi bagi warga yang dipimpinnya. Tahu cari makan, tahu membangun ekonomi daerahnya. Indikatornya bisa PDRB, perdapatan perkapita, daya beli hingga macam-macam indeks kualitas hidup. Kita memilih pemimpin karena kita berharap kondisi eksisting dan variabel-variabel kesejahtraan warga bisa lebih baik di akhir periode kepemimpinannya nanti.