Tapi ada juga fakta kepemimpinan yang tak tahu kemana arahnya daerah dan warganya mereka mau dibawa. Indikator kemajuan dan kesejahtraan warganya jadi remang-remang hingga tak terlihat. Realisasi 100 persen, sebuah narasi standar sebagai output kinerja pemerintahannya terkesan berbanding terbalik dengan kondisi faktual. Inflasi terkendali tapi daya beli rendah, sama dengan mengendalikan atau memelihara “yang rendah-rendah” karena konsentrasi aset dan sumber daya hanya berputar di kelompok kecil kepentingan dan mempengaruhi daya beli dan pasar terlihat lesu. Kelesuan ekonomi dan kondisi tingkat kesejahtraan warga yang stagnan dan relatif tak berdaya itu, justru dieksploitir bahkan mengekploitir penderitaannya sendiri jadi varibel elektoral calon pemimpin. Menebar dan memberi minum “pil tahan lapar” dan “latihan diet” untuk meneguhkan nestapa warganya. Menebar janji dan optimisme liar di tengah perut warganya yang lapar. Bentuknya, kampanye media hingga pernyataan dan opini sukses yang tak masuk akal. Tak ubahnya di negara totaliter tadi. Entah itu disadari atau tidak. Ini adalah fakta-fakta miris yang masih telanjang terlihat.
Ada juga yang terkesan percaya diri dengan slogan yang mungkin tak di mengertinya dan terlihat tak cukup punya kompetensi hingga rekam jejaknya.
Tahu cari makan, analog tahu cara memenuhi kebutuhan dasar warganya. Dan variabel kesejahtraan ekonomi bagi warga adalah kebutuhan paling utama. Orang butuh makan dulu untuk bisa memaksimalkan potensi insaniah lainnya setelah dia kenyang. Kita tak bisa berharap orang yang sedang lapar dan belum tercukupi kebutuhan fisilogisnya untuk cukup tenaga dan kemampuannya berusaha memenuhi kebutuhan mengaktualisasikan diri, memaksimalkan potensi insaniahnya secara maksimal seperti diurai teori hierarki kebutuhan oleh Abraham Maslow.
Ada kepala daerah yang cukup rekam jejaknya untuk tahu cari makan, menjadi berkah dan mengangkat harkat dan martabat warganya dengan berbagai indikator kesejahtraan yang terukur hingga efeknya melebar dan memberi dampak positif wilayah sekitar. Sebagaimana para pemimpin Ethiopia yang mampu menyulap negaranya dan mengangkat martabat warganya dari jurang kehinaan karena kemiskinan dan kelaparan. Tetapi ada juga kepala daerah bahkan pemimpin negara yang hanya tahu memberi pil tahan lapar hingga latihan diet bagi warganya karena ekonominya yang sulit, sembari tanpa sadar ikut mengeksploitir harkat dan martabat.
Debat awal Calon Gubernur dan Wakil gubernur sore tadi, telah cukup memberi panduan informasi bagi warga Maluku Utara untuk punya gambaran hingga ekspektasi siapa sesungguhnya yang punya cukup pengetahuan, pengalaman hingga rekam jejak untuk bisa jadi “pencari makanan” bagi sekian banyak orang di daerah ini, yang datanya ditunjukan Lembaga Indikator dalam rilis surveinya minggu kemarin [10/11], yang menemukan bahwa 21.8 persen responden yang menjadi sampelnya di wilayah tempat tinggal masing-masing di Maluku Utara, menjawab bahwa harga-harga kebutuhan pokok mahal. Sekali lagi, kita ingin bisa makan bukan minum pil tahan lapar dan latihan diet. Wallahua’lam.