Mana mungkin Indonesia yang telah ikut hanyut dalam arus besar sejarah global mau dikembalikan ke zaman kuno. Karena fenomena perangai Moeljono ini aneh dan tidak percaya bahwa orang seperti dia bisa menjadi presiden Indonesia, Ryaas Rasyid, guru besar Institute Pemerintahan Dalam Negeri, menduga ada konspirasi besar yang memungkin anomali ini terjadi.
Ryaas bahkan menganggap mustahil Moeljono “yang tidak tahu apa-apa” bisa menjadi gubernur DKI Jakarta tanpa persekongkolan banyak orang. Saat menjadi orang nomor satu di DKI, katanya, Moeljono selalu meninggalkan rapat yang sedang berjalan dan memprioritaskan kegiatan blusukan yang, menurut pendukungnya dan diglorifikasi media serta buzzer bayaran, merupakan inovasi politik yang luar biasa.
Padahal, blusukan adalah cara Moeljono eskap dari masalah-masalah rumit yang memerlukan kadar intelektual tinggi untuk memecahkannya. Mudahnya ia menjadi presiden tanpa berkeringat menginspirasinya untuk mempromosikan semua anggota keluarga, yang bermuka tembok dan bermental bajingan, ke jabatan-jabatan tinggi di pemerintahan dari pusat hingga daerah.
Kebetulan selama menjadi presiden, Moeljono belajar bahwa tidak perlu pintar untuk memimpin negara asalkan kita pandai mencokok orang-orang pandai bermental budak untuk patuh pada kemauan kita. Salah satu yang paling mengganggu nurani dan akal sehat adalah dijadikannnya Fufufafa sebagai wapres. Ini aib historis yang akan lama lengket pada tubuh bangsa pejuang ini.
Sekonyong-konyong keutamaan intelektualitas dan moralitas Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Jamin, Agus Salim, dan para founding fathers lainnya kehilangan makna. Mereka hanyalah tokoh-tokoh kebetulan yang terlahir dari sejarah yang random — tanpa rencana, tujuan, dan pola apapun – sebagaimana Moeljono dan Fufufafa.