Friday, 27 December 2024

Maklumat Aliansi Masyarakat Adat Moloku Kie Raha Tolak Sherly-Sarbin

-

TERNATE—Jalan Sherly Tjondoa-Sarbin Sehe untuk berkuasa di Maluku Utara bakal kian mendaki terjal.Pasalnya, upaya mereka sebagai calon pemimpin Maluku Utara mendapat penolakan elemen stragis daerah.

Hal itu berdasarkan maklumat yang dikeluarkan Aliansi Masyarakat Adat Moloku Kie Raha yang berisi penolakan, terhadap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda-Sarbin Sehe.Sebelumnya sikap yang sama dikeluarkan Aliansi Masyarakat Muslim Maluku Utara.

Maklumat ini dibacakan pada Senin (23/12/2024) oleh Kapita Kesultanan Tidore, Muhamad Ali Alting.A ara pembacaan Maklumat juga dihadiri Letnan Ngofa Ade Dano Muhamad, Imam Safrin Ali perwakilan Masjid Jan dan sejumlah perangkat adat Kesultanan Tidore.

Bukan main-main, maklumat Aliansi Masyarakat Adat Kie Raha ini menyentuh aspek paling fundamental baik adat dan agama.Lihat saja pernyataan tegas Kapita Lao Kesultanan Tidore yang menegaskan bahwa pentingnya menjaga hukum adat dan budaya kepemimpinan Islam, yang telah menjadi dasar tatanan masyarakat Moloku Kie Raha sejak masa monoarki hingga era demokrasi.

“Moloku Kie Raha adalah wilayah federasi kerajaan Islam yang terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, yang sejak ratusan tahun lalu hingga kini masih kental dengan kepemimpinan Islam dan kulturnya. sejak dahulu sampai dengan masa di mana raja-raja Moloku Kieraha mengambil sikap untuk menggabungkan wilayah kerajaan dan Masyarakatnya kedalam Negara Kesatuan Republik indonesia, dengan penuh harapan bahwa penerapan demokrasi di moloku Kie Raha nantinya dapat terlaksana, tanpa mengabaikan hal-hal prinsip yang telah terjaga, yaitu kepemimpinan Islam,” ujar Muhamad Ali Alting saat membacakan maklumat.

Dalam empat poin utama, Aliansi Masyarakat Adat Moloku Kie Raha menolak kepemimpinan non-nuslim di Maluku Utara, mengingatkan pemerintah dan partai politik untuk mempertimbangkan hukum adat, serta mengajak masyarakat Maluku Utara untuk mematuhi hukum adat, demi stabilitas politik dan sosial.

“Kami menolak kepemimpinan non-muslim, karena tidak sesuai dengan hukum adat dan budaya kepemimpinan Islam, di Maluku Utara,” lanjutnya.

Maklumat ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat muslim di Moloku Kie Raha, untuk tetap berpegang teguh pada wasiat leluhur, dan menjaga prinsip kepemimpinan Islam sebagai bentuk penghormatan, terhadap sejarah dan budaya.

“Demi terciptanya kestabilan politik di Maluku Utara. Kami mengingatkan kepada saudara-saudara muslim kami di seluruh Jazirah Moloku Kie Raha, untuk kembali berpegang teguh kepada pusaka wasiat dari para leluhur. Dalam hal ini adalah tidak menjadikan non-muslim sebagai pemimpin,” tutup Muhammad Ali Alting. (*)