Smith Alhadar
Penasihat Institute for Democracy Eudation (IDe)
Sebagai ibu kota negara, dengan sendirinya DKI Jakarta menjadi kota paling strategis dari sisi politik, ekonomi, dan pbudaya. Apalagi, tak lama lagi Jakarta akan menjadi kota aglomerasi yang pembangunannya sangat terintegrasi dengan kota-kota satelitnya.
Tak heran, dalam pilkada, Jakarta menjadi fokus para pasangan cagub-cawagub. Bahkan, melibatkan tokoh-tokoh informal dari berbagai kalangan yang dulu berada dalam satu kubu, kini berbeda. Atau dulu berbeda, kini seiring sejalan. Parpol-parpol pun mengambil posisi yang dasar rasionil politiknya sulit difahami.
Ini sebenarnya hanya menggambarkan krusialnya posisi Jakarta, residu cawe-cawe Mulyono, pendekatan pragmatis parpol, dan proyeksi pilpres 2029. Residu cawe-cawe Mulyono terlihat dari terbentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang dalam pilpres silam mengusung Prabowo-Fufufafa.
Kini ikut bergabung ke dalam KIM adalah Nasdem, PKS dan PKB – yang dulu mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) — sehingga namanya menjadi KIM Plus. Orang terkejut atas fenomena KIM Plus karena Nasdem, PKS, dan PKB meninggalkan Anies Baswedan yang elektabilitasnya di Jakarta tak ada saingan.
Mengapa terjadi perubahan sikap ketiga partai pendukung AMIN yang sebelumnya telah menyatakan berkomitmen mendukung Anies di Pilgub Jakarta? Padahal, mengusung Anies adalah jaminan kemenangan? Yang lebih sulit dimengerti adalah sikap PKS.
PKS adalah pemenang pileg di Jakarta dan konstituennya adalah die hard Anies. Yang bisa dijelaskan adalah PKS kebelet kekuasaan. Selama pemerintahan dua periode Mulyono, PKS berada di luar, yang dipandang tidak bermanfaat secara ekonomi dan politik.
Maka, kali ini ia tak mau lagi menjadi oposisi, sehingga menyambut ajakan Prabowo yang kebetulan ingin merangkul semua partai ke dalam Kabinet Merah Putih (KMP). Apalagi atas kemauan Mulyono, PDI-P dijadikan partai pariah. KMP, yang dilahirkan dari KIM Plus, juga merupakan cawe-cawe Mulyono.