Jika disematkan predikat sebagai “sang petarung”, mungkin lebih dari itu. Memori saya masih segar untuk mengingat-ingat kiprah banyak sosok di Maluku Utara bahkan di Indonesia untuk memperjuangkan tekad menjadi kepala daerah di level kabupaten dan Kota, belum ada padanannya yang setara. Tiga kali secara berturut-turut maju berkontestasi hingga terpilih di kali ketiga dengan sumber daya pembiayaan yang relatif terbatas, di wilayah yang berpulau dan rentang kendalinya yang sulit, itu bukan perkara gampang bagi banyak orang. Bahkan hingga nekat melawan Petahana di kali kedua.
Saya mengenali benar, tipikal dan karakter seorang Edi Langkara. Meski, mungkin ada sisi tertentu yang tak disenangi orang, itu sesuatu yang lumrah terjadi. Di sebuah kisah yang saya baca, ada seorang Pimpinan Perusahaan memperlakukan stafnya dengan begitu tegas dan “profesional”. Padahal juga, mereka berkawan dan terpaut usia lebih muda beberapa tahun di antara karyawannya. Ini alasan “sang bos” yang bikin saya sedikit mengakuinya : Aku tidak mau para pekerjaku akan menganggapku remeh kalau aku terlalu ramah. Mereka harus menghormatiku, dengan begitu, rasa segan akan menuntun mereka untuk melakukan pekerjaannya dengan profesional.
Di balik ketegasan seorang pemimpin, mungkin saja ada kesadaran mendalam bahwa menjadi pemimpin bagi warga dengan latar tertentu, berlaku gaya dan pendekatan tertentu pula, sebagai implikasi dan bagian dari tanggungjawab karena menganggap mereka yang dipimpin itu sebagai “keluarga besar” berbasis entitas hingga latar tertentu, misalnya. Ini soal pengetahuan dan pemahaman pemimpin yang mungkin saja tak di ketahui orang.
Saya begitu terkesan, ketika membaca tulisan pendek karib Guntur Alting, berjudul “Pemimpin Dengan Lompatan Panjang”. Dengan mengutip Rhenal Kasali dalam “Change Leadership”, dosen pasca sarjana UMY Jakarta ini mendeskripsikan secara apik kiprah sosok Muhammad Kasuba, lewat kebijakan-kebijakan visionernya saat menjadi Bupati Halmahera Selatan selama dua periode. Visi pribadinya sebagai pemimpin begitu kuat menghujam dan menjangkau ruang dan waktu yang panjang. Bahkan sampel implikasi kebijakannya bisa menjadi roll model dan dirasakan hingga saat ini. Sosok Muhammad Kasuba menurutnya, adalah tipikal change leadership.
Dan visi pemimpin visioner biasanya punya daya adaptasi dan respon yang cepat dan kreatif dari situasi dan lingkungan strategis yang mengitarinya, yang bergerak begitu cepat. Dan benar, dalam banyak kasus di Maluku Utara khususnya, dalam batas tertentu, tak banyak ditemukan tipikal “change leadership” ini. Menilik sampel visinya yang di wujudkan di periode pertamanya bersama Abd. Rahim Odeyani, Edi Langkara, sebagaimana sosok Muhammad Kasuba tadi, masuk katagori sebagai “Pemimpin Dengan Lompatan Panjang”. Mereka tak hanya berpikir rakyatnya bisa makan hari ini tetapi juga mangajarkan bagaimana bisa “mencari makan sendiri” kelak. Mereka cenderung mewariskan legacy dan kemandirian bukan menebarkan bantuan sosial yang sesaat sembari tanpa sadar menciptakan ketergantungan, merendahkan martabat warganya.
Bias visi yang jauh dengan dengan pengetahuan dan pemahaman para awam, seringkali berbuah kekecewaan hingga sumpah serapah. Tetapi pemimpin dengan lompatan panjang, dia tahu kemana hari depan dan nasib warganya akan di bawa. Rasanya, tak ada habisnya menulis pertautan saya dengan kiprah “heroisme” seorang Edi Langkara, yang juga berlatar resimen mahasiswa ini.
Ketika pertama kali menjadi bupati, Kami mengantarnya ke Weda usai upacara pelantikan di Kantor Gubernur Maluku Utara. Saya pernah memberinya beberapa saran sebagai karib. Dengan kondisi dan fakta objektif yang tersaji dan kemampuan sumber daya keuangan daerah yang relatif terbatas saat itu, beberapa indikator kebutuhan dasar harus jadi prioritas lebih dulu. Infrastruktur jalan yang layak yang bisa diakses antar kecamatan, salah satunya. Alasan saya agak emosional, cukup bagi generasi Fogogoru hari ini, untuk minimal bisa menikmati “jalan kaki antar wilayah yang jauh” meski tanpa alas kaki, tetapi tak terhalang semak belukar, mendaki dan berkelok menyusuri lembah dan ngarai ataupun ancaman gelombang laut yang ganas karena musim yang ekstrim, yang dulunya di alami dan dirasakan para orang tua, leluhur hingga sang Pahlawan Nasional bernama Salahuddin Bin Talabudin, ketika memperjuangkan harga diri, harkat, derajat dan martabat kemanusiaan entitas Fogogoru dan Indonesia. Mungkin itu jadi “tanda bakti” untuk periode pertama dulu. Jika hari ini, ada semangat dan akumulasi emosi yang membuncah menghadapi kontestasi Pemilihan Kepala Daerah di wilayah yang dulu pernah diperjuangkan bersama entitasnya dengan darah dan air mata, sejatinya bagi mereka, itu adalah “beban sejarah” dari seorang Salahuddin Bin Talabudin yang harus ditunaikan. Sejatinya, ada dua pahlawan, yang berjuang dan yang menghargai perjuangan para pejuang. Wallahua’lam.