Sebagian orang percaya pada diskursus ini. Saya tidak. Bukan lantaran Prabowo tidak tulus memberantas korupsi, tapi karena ia tidak mampu melakukannya. Pertama, ia terobsesi merangkul semua kekuatan politik ke dalam pemerintahannya untuk menciptakan stabilitas. Dalam pandangannya, stabilitas yang tanpa oposisi akan membuat pemerintahannya lebih efektif. Pemikiran ini keliru karena mengandaikan oposisi sebagai pengganggu.
Padahal, kehadiran oposisi penting untuk menjaga pemerintah tetap berjalan dalam koridor hukum, inklusif, dan meningkatkan kualitas kebijakan yang dikeluarkannya. Kedua, lembaga-lembaga penegak hukum dipimpin oleh loyalis Mulyono, yang menjadi alat penjaga status quo. Bahkan menghadirkan ancaman terhadap Prabowo. Kasus Lembong adalah contohnya. Contoh lain, pemerintah seperti tak berdaya menghadapi kasus Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, loyalis Mulyono, yang diduga kuat terlibat kasus judi online.
Besarnya pengaruh Mulyono terhadap Prabowo dapat dilihat pada contoh dua kasus berikut. Pertama, soal susunan kabinet. Beredar luas di kalangan kaum terpelajar bahwa seminggu sebelum Prabowo dilantik, Mulyono mengadakan pertemuan dengannya di Solo. Di sana, Mulyono menyodorkan nama-nama loyalisnya untuk diakomodasi Prabowo dalam kabinetnya. Kendati kecewa, Prabowo patuh pada desakan Mulyono. Desakan lain, kasus Fufufafa menghina Prabowo dan keluarganya tidak dijadikan masalah. Desakan ini disertai ancaman serius bila Prabowo mengabaikannya.
Apakah Prabowo punya masalah besar yang dapat meruntuhkan pemerintahannya kalau dibongkar? Entahlah. Yang saya dengar, Mulyono mengemukakan konsekuensi-konsekuensi ekonomi, hukum, dan politik bila Prabowo tak patuh pada kehendaknya. Hal lain yang diminta Mulyono adalah Prabowo tidak boleh memasukkan PDI-P dalam koalisi pemerintahannya. Sangat mungkin Mulyono juga menekan Prabowo untuk melanjutkan pembangunan IKN. Itu terlihat dari perubahan sikap Prabowo terkait proyek mercusuar yang berbiaya besar ini.
Awalnya, Prabowo mengatakan, perlu waktu lama, sekitar 25-30 tahun, untuk menyelesaikannya. Hal ini masuk akal karena membangun ibu kota yang serba canggih butuh dana jumbo dan perancanaan matang. Tapi sekonyong-konyong Prabowo berubah dengan mengatakan ia akan menyelesaikan IKN hanya dalam waktu empat tahun. Tiongkok dan pengusaha domestik sanggup melakukannya. Mengapa tiba-tiba oligarki berubah pikiran dari sebelumnya ogah berpartisipasi menjadi bersemangat untuk mewujudkannya?