Wednesday, 18 December 2024

Kejujuran Sang Presiden Ksatria

-

Pesan paling pokok sang presiden ksatria ini adalah soal biaya pemilihan kepala daerah itu yang mahal. Mari melihat data. Dalam rapat bersama antara Komisi Pemilihan Umum [KPU] dengan Komisi ll DPR RI di Jakarta [31/10/2024], Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengungkap, jumlah anggaran untuk Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota dalam Pilkada serentak tahun 2024 yang telah disetujui melalui naskah perjanjian hibah daerah [NPHD] mencapai Rp 28,6 triliun per 28 Oktober 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 99,77 persen telah dicairkan [Berita Satu, 31/10/2024].

Ini untuk pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah. Kita bisa berandai-andai berapa nilai uang yang di keluarkan setiap pasangan calon yang berkontestasi dan pihak terkait tertentu, menurut jumlah dan “klasifikasi” partai pengusungnya, luas dan rentang kendali wilayahnya, jumlah penduduk, mobilitas dan frekuensi kampanye tatap muka bahkan hingga dugaan nilai “serangan fajar”, istilah lain bagi-bagi uang. Atau istilah umumnya politik uang. Kalkulasikan untuk total jumlah Pasangan Calon Gubernur, Bupati dan Wali kota di Indonesia dalam pemilihan kepala daerah serentak. Wajar jika kepala negara hingga berguyon bahwa bukan hanya yang kalah yang merasa kesulitan, yang menangpun bisa juga kesulitan.

Tak semata soal biaya. Kita pernah mengoleksi sejarah kelam jumlah penyelenggara pemilu yang meninggal dunia yang bikin prihatin. Belum lagi ada dugaan keterlibatan “partai coklat” yang diduga ikut bermain dan merusak esensi demokrasi. Kita paham apa yang di maksud partai coklat itu. Mungkin ini yang di tengarai Mahfud tadi bahwa kontestasi ini tak sekedar mahal tetapi juga jorok.

Bagi saya, variabel paling dahsyat daya rusaknya adalah politik uang. Menggunakan instrumen uang untuk mempengaruhi, kalau bukan membeli suara. Daya rusaknya begitu kuat menyerang sendi-sendi paling utama dari modal sosial kita yang paling mahal, karakter bangsa. Jika tak segera dieliminir, kita akan menyongsong petaka di depan mata, menjadi bangsa dengan karakter generasi yang lembek dan rusak. Memori sebagai bangsa yang santun, tenggang rasa dan macam-macam itu, akan berubah menjadi bangsa yang santai dan rakus hingga bermental keropos karena doyan suap-menyuap. Saya membayangkan bahwa saat ini telah terjadi, guru sekolah menengah yang mengajarkan materi tentang pendidikan nilai dan kepribadian, tak lagi bersemangat dan merasa “kering” karena di depan pintu keluar, para siswa telah di tunggu bertumpuk “amplop serangan fajar” dari pasangan calon dalam kontestasi ini, untuk mengakses keterpilihannya. Rasanya tak lagi relevan kita bermimpi tentang generasi emas Indonesia kelak, jika kita tak mau berubah sekarang.

Menanggapi diskusi malam itu, saya menyodorkan “pikiran setengah gila” karena begitu kesal dengan efek buruk politik uang yang terbaca sejauh ini : Kalau berani, Mahkamah Konstitusi bikin “revolusi” dan terobosan hukum, diskualifikasi semua pasangan calon seluruh Indonesia yang terbukti melakukan politik uang, satu rupiahpun. Baru diputuskan pemilihan langsung ulang semuanya. Hampir pasti, semua pasangan calon memulainya dari nol. Biayanya sudah pasti besar dan sangat mahal. Karena tidak ada tindakan revolusioner atau memperbaiki kerusakan struktural yang murah. Tetapi untungnya, kita bisa berubah dalam sekejap. Cuma ini jalan pintasnya, andai tetap mempertahankan mekanisme pemilihan langsung. Efek jangka pendeknya, memang meresahkan banyak pihak tetapi jangka panjangnya akan menyehatkan sistem politik kita dalam soal memilih kepala daerah.

Kita beruntung punya sosok sang presiden yang sejauh ini, terkesan kuat ketulusannya bagi bangsa ini. Tak terlalu politis pikiran karena mungkin berlatar militer, bukan politisi tulen. Beliau ksatria dan jujur berbicara apa adanya demi kebaikan bangsa. Menebarkan banyak niat baik dalam hitungan waktu bekerja yang masih sangat singkat sejak dilantik. Kita mendoakan sang presiden yang hebat ini, untuk menjadikan bangsa ini lebih hebat lagi. Wallahua’lam.