Tuesday, 3 December 2024

SISYPHUSS

-

Masuk akal dugaan sementara bahwa oligarki dan Tiongkok bersedia mengerjakannya karena ada keuntungan lain yang mereka peroleh. Mulyono menjadikan proyek Pondok Indah Kapuk sebagai Proyek Strategis Nasional. Dengan begitu, negara berhak menggusur pemukiman dari lahan tempat proyek itu dibangun dengan membeli lahan penduduk dengan harga sangat murah sebagai kompensasi kesediaan oligarki membangun IKN. Tiongkok juga bersedia sebagai tukar guling “pengakuan” Indonesia bahwa Laut Natuna Utara sebagai wilayah sengketa dengan Tiongkok.

Isu terakhir ini bukan hanya menggemparkan publik tanah air, tapi juga menghebohkan negara-negara ASEAN yang punya klaim tumpang tindih dengan Tiongkok atas pulau-pulau di Laut China Selatan. Sebenarnya Indonesia tak punya klaim tumpang tindih dengan Tiongkok, tapi dengan menandatangani kesepakatan mengelola bersama Laut Natuna Utara secara tidak langsung RI mengakui Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia itu sebagai wilayah sengketa. Ini akan mengganggu stabilitas kawasan dan melemahkan posisi Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina vis a vis Tiongkok.

Sebagai seorang jenderal, mestinya Prabowo mengerti betul masalah ini karena terkait dengan teritori, kedaulatan, dan keamanan negara. Setelah menandatangani kesepakatan itu saat Prabowo berkunjung ke sana (8-10 November), Tiongkok menyatakan senang Prabowo akan melanjutkan program pembangunan Mulyono. Secara implisit, pernyataan Tiongkok ini bersentuhan dengan isu IKN. Dus, Prabowo menyatakan akan membangun IKN dalam waktu empat tahun sangat mungkin terkait dengan kesediaan oligarki dan Tiongkok menggelontorkan dana untuk IKN sebagai hasil kesepakatan dengan Mulyono.

Tiongkok juga akan membantu program makan bergizin gratis Prabowo. Bagaimanapun, dana yang dikeluarkan oligarki dan Tiongkok tidak seberapa dibandingkan keuntungan yang mereka peroleh dari proyek PIK dan Laut Natuna Utara. Sangat mungkin, AS juga akan menekan pemerintahan Prabowo untuk membatalkan kesepakatan pengelolaan Laut Natuna Utara dengan Tiongkok sebagaimana dilakukan Filipina. Memang berdasarkan hukum maritim internasional (UNCLOS), klaim Tiongkok atas pulau-pulau di Laut China Selatan berdasarkan sembilan garis putus-putus (nine dash line) tidak berdasar.

Yang saya tulis ini baru sebagian dari legacy Mulyono yang pasti menghambat program pembangunan Prabowo. Prabowo adalah Sisyphus dan batu besar adalah legacy Mulyono. Melihat kuat dan luasnya jejaring Mulyono di pemerintahan Prabowo dan kecenderungan Prabowo untuk menerima semua yang didesakkan Mulyono, saya tidak percaya Prabowo mampu mengantarkan negara ini ke gerbang Indonesia Emas. Seperti Sisyphus, pekerjaan pemerintahan Prabowo akan berakhir sia-sia. Ibarat ironi situasional, terjadi perbedaan mencolok antara apa yang diharapkan terjadi dan apa yang sesungguhnya terjadi.

Tangsel, 14 November 2024